Menghambat Laju Judicial Terorism pada Putusan MK
Oleh:
Feri Amsari
Pendahuluan
Judicial activisim (aktivitas judicial) menurut kamus hukum Black adalah sebuah cara permenungan, mencari, atau menggali filosofi dari hukum dalam pembuatan putusan peradilan, dimana hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya berkaitan dengan kebijakan publik, juga pelbagai faktor-faktor lainnya, untuk menuntunnya memutuskan sebuah permasalahan.[1] Kewenangan menemukan esensi dari sebuah produk peraturan perundang-undangan itulah yang menyebabkan John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1803 melakukan langkah luar biasa yang akhirnya “menciptakan” mekanisme judicial review. Walaupun terdapat pelbagai pihak yang menyebutkan bahwa konsep tersebut adalah manipulasi kewenangan konstitusional oleh peradilan namun mekanisme tersebut tetap berjalan hingga kini.
Richard Dobbs Spaight salah seorang penyusun konstitusi Amerika menyatakan bahwa judicial review adalah perampasan wewenang. Para kritisi judicial review sering mempertanyakan kewenangan tersebut, menurut mereka, jika memang kewenangan pengujian oleh lembaga peradilan dimaksudkan oleh para pembentuk konstitusi Amerika, namun kenapa tidak dicantumkan dalam pasal-pasal konstitus?[2]
Felix Frankfurter menanggapi hal tersebut dengan dingin. Menurutnya banyak pihak yang tidak memahami sejarah dan memiliki prasangka yang berlebihan terhadap kewenangan tersebut yang berakibat kepada perdebatan tidak berkesudahan dan tidak berguna.[3] Bagaimanapun kewenangan judicial review terus digunakan dan itu dianggap penting untuk menghindari abuse of power dari lembaga pembentuk undang-undang. Hakim menjadi “juri” terakhir yang menilai sebuah produk perundang-undangan telah berkesesuaian dengan rasa keadilan, kedaulatan rakyat, asas kemanfaatan, dan pelbagai faktor yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sebuah Negara bangsa.
Judicial review yang merupakan “bagian” dari judicial activism sangat penting ada semenjak kepentingan publik lebih diutamakan daripada kepentingan privat. A.M Ahmadi, mantan Ketua Mahkamah Agung India berpendapat bahwa;
Judicial activism is a necessary adjunct of the judicial function since the protection of public interest as opposed to private interest happens to be its main concern.[4]
Bagi Francis Fukuyama penciptaan (termasuk menurut penulis pemberian kewenangan baru) lembaga-lembaga pemerintahan baru dan penguatan-penguatan lembaga yang telah ada (dapat pula penambahan kewenangan) merupakan sebuah konsep pembangunan Negara yang sangat diperlukan untuk menghindari Negara lemah atau Negara gagal.[5] Jadi kewenangan judicial review juga sangat penting dalam mewujudkan stabilitas Negara.
Konsep review oleh sebuah lembaga peradilan tersebut kemudian berkembang secara massif dalam sistem ketatanegaraan banyak Negara di dunia. Pelbagai metode baru pun ditemukan dalam perkembangannya. Di tahun 1920, Hans Kelsen mencetus ide pemisahan lembaga kekuasaan kehakiman, satu di antara puncak kekuasaan tersebut dikhususkan melakukan kewenangan judicial review.
Indonesia melalui perubahan ketiga UUD 1945 melakukan duplikasi terhadap ide Kelsen tersebut. Wujudlah kemudian dua puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Oleh Laica Marzuki konsep Kelsen tersebut disebut dengan duality of jurisdiction.[6] Tentu dalam tatanan ketatanegaraan di Indonesia terbentuk rekayasa konstitusional tersendiri. Pemisahan kekuasaan peradilan tersebut tidak diiringgi dengan pemisahaan kewenangan di antara dua kekuasaan judicial tersebut.
Pasal 24A UUD 1945 memberikan pengaturan yang sesungguhnya bersebrangan dengan konsep yang diajarkan Kelsen. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Pasal 24C ayat (1) kemudian menyatakan terdapatnya kewenangan yang berkategori sama, selengkapnya pasal tersebut sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara,…”
Dua pasal tersebut [Pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945] memperlihatkan bahwa para pelaku amandemen UUD 1945 (second framers of constitution) sengaja memberikan kewenangan judicial review kepada dua puncak kekuasaan peradilan tersebut. Walaupun hal tersebut tidak lazim dalam konsep ketatanegaraan di banyak Negara lain, akan tetapi sistem Indonesia sulit untuk dilakukan perubahan. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 merupakan sebuah keharusan untuk membenahi “silang-sengkarut” tatanan ketatanegaraan Indonesia. Konsep pembagian kewenangan judicial review tersebut akan memberikan dampak tersendiri dalam perjalanan ketatanegaraan di Indonesia. Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai fakta-fakta yang memperlihatkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penataan konsep kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Satu atap Judicial Review
Menurut Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet terdapat dua model lembaga yang melakukan judicial review. Pertama model Amerika, disebut juga the decentralized model, dimana kewenangan judicial review dilaksanakan secara berjenjang. Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya berwenang memutuskan perkara-perkara review sebuah produk perundang-undangan.[7] Berikut ini adalah Gambar yang dapat mendeskripsikan model Amerika tersebut:
Gambar I:
Model Judicial Review di Amerika[8]
Model Amerika tersebut memperlihatkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh banyak peradilan, namun kesemuanya dalam satu atap di bawah naungan Mahkamah Agung Amerika. Judicial review yang dilakukan oleh lembaga peradilan di bawah MA dapat dibanding ke peradilan di atasnya.
Model kedua menurut Jackson dan Tushnet dikenal dengan model Austria atau disebut juga the centralized model. Model yang dikenal sebagai konsep Kelsen ini hanya memiliki satu puncak kekuasaan peradilan yang berwenang melakukan judicial review, yaitu Mahkamah Konstitusi.[9] Berikut adalah gambaran model tersebut;
Gambar II:
Model Judicial Review di Austria[10]
Model Austria ini memperlihatkan bahwa kewenangan judicial review hanya terdapat pada peradilan konstitusional. Seluruh produk perundang-undangan diuji nilai konstitusionalnya oleh satu lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi Austria.
Indonesia sendiri yang oleh banyak pakar menganut konsep Hans Kelsen sesungguhnya telah melakukan penyimpangan. Kewenangan judicial review berada pada dua naungan puncak kekuasaan kehakiman. Constitutional judicial review (uji konstitusionalitas) dilakukan oleh MK sedangkan law judicial review (uji Perundang-undangan di bawah UU) dilaksanakan oleh MA. Berikut adalah gambaran mengenai kewenangan judicial review dalam sistem ketatanegaraan Indonesia;
Gambar III:
Model Judicial Review di Indonesia[11]
Model Indonesia ini akan menciptakan permasalahan. Kasus pengujian peraturan KPU pada Pemilu 2009 memperlihatkan berbahayanya jika kewenangan judicial review dimiliki oleh dua institusi peradilan yang berbeda. Peraturan KPU mengenai perhitungan tahap dua anggota calon legislative terpilih pada Pemilu 2009 yang diuji ke MA sesungguhnya terjadi dikarenakan para Pemohon merasa akan sulit meminta penafsiran ketentuan UU kepada MK agar berkesesuaian dengan kepentingan politik Pemohon. Berdasarkan itu dugaan politis tersebut maka Pemohon menguji peraturan KPU tersebut dengan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD ke MA.
MA kemudian memberikan tafsir peraturan KPU tersebut sesuai dengan keinginan politis para Pemohon. Namun permasalahan tidak selesai sampai di situ. Para pihak yang tidak menyetujui putusan tersebut kemudian mengajukan permohonan uji konstitusional UU No.10/2008 tersebut kepada MK. Dalam putusannya MK menyatakan secara “implicit” bahwa putusan MA tidak dapat diberlakukan dikarenakan kehilangan dasar berpijaknya (UU No.10/2008).
Kenyataan tersebut telah menciptakan pengabaian sebuah putusan kekuasaan kehakiman melalui putusan dari cabang kekuasaan kehakiman yang lain. Jika dilihat dari asas penegakkan keadilan, putusan MK yang menganulir secara tidak langsung putusan MA tersebut dapat dimaklumi. Namun dalam bingkai penataan lembaga Negara, putusan MK tersebut dapat merusak kewibawaan institusi MA sebagai lembaga sederajat dalam ranah kekuasaan kehakiman. Untung saja para pihak mampu menahan diri, menerima putusan tersebut tanpa menimbulkan polemik berkepanjangan. Akan lain ceritanya apabila putusan MK tersebut tidak memenuhi standar keadilan publik. Saat ini MK memang sedang berada di puncak popularitas kepercayaan publik. Sehingga tidak hanya masyarakat, politikus yang memiliki kepentingan individual saja dengan “lapang hati” menerima putusan tersebut. Namun bukan berarti putusan MK akan selamanya diterima.
Kondisi sengketa Pemilu dan benturan antar putusan tersebut bisa saja suatu saat akan menjadi dasar pertikaian hebat antara MK dan MA. Pihak-pihak (MA dan MK) yang bertikai akan memiliki landasan hukum yang didasari putusan masing-masing. Padahal UUD 1945 tidak memiliki solusi terhadap sengketa antar lembaga negara yang melibatkan MK sebagai salah satu pihak. Sebagai satu-satunya penafsir (sole interpreter) UUD 1945, MK tentu tidak layak memaknai pasal-pasal konstitusi sebagai pihak yang bertikai. Itu sebabnya benturan kewenangan MA dengan MK sedapat mungkin harus dihindari.
Jika disigi, benturan tersebut terjadi karena terdapatnya UU yang sama-sama dipergunakan dalam melaksanakan kewenangan judicial review. MK menjadikan UU sebagai objek yang diujikan konstitusionalitasnya terhadap UUD, sedangkan MA menjadikan UU sebagai dasar pengujian terhadap produk perundang-undangan di bawah UU. Itu sebabnya terjadi “benturan” secara tidak langsung antara putusan MA dan MK dalam perselisihan hasil Pemilu 2009 yang lalu.
Untuk menghindari pelbagai permasalahan dalam judicial review dan sekaligus mengurangi tumpukan perkara di MA,maka pemberian kewenangan judicial review hanya kepada MK akan meminimalisir benturan antara MA dan MK. Hal itu berfungsi menciptakan kestabilan tatanan ketatanegaraan.
Teror Putusan Peradilan
Satybrata Sinha dalam Judicial Activism: Its Evolution and Growth mengemukakan bahwa aktivitas peradilan (judicial activism) akan memberikan dua kemungkinan. Pertama, putusan hakim itu mungkin dapat dinilai sebagai sebuah mahakarya keadilan (baca: judicial creativity). Putusan John Marshall dalam perkara Marbury versus Madison di Amerika yang melahirkan metode judicial review dapat menjadi contoh sempurna dalam hal ini. Kemungkinan kedua ialah putusan hakim dapat menjadi intimidasi (baca: judicial terrorism) bagi publik yang menciptakan kekacauan bagi kemanusiaan, ketakutan, dan kekhawatiran. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan keberadaan Peradilan Tindak Pidana Korupsi membuktikan simpulan Sinha yang kedua tersebut. Selengkapnya Sinha menuturkan bahwa;
Judicial activism had all along been meaning different things to different people. Its evolution and growth, effect on public administration and other fields of social life had created a hornet’s nest. On the one hand it is equated with judicial creativity; on the other it is being labeled as judicial terrorism.[12]
Sebagaimana Sinha, P.P. Rao menjelaskan mengenai dua wajah dari judicial activism tersebut. Rao berpendapat bahwa judicial creativity adalah aspek positif dari judicial activism, namun judicial activism juga memiliki sisi kontroversial yang menakutkan. Rao menuturkan sebagai berikut;
Judicial creativity and dynamism are the positive aspects of judicial activism. There is yet another facet of judicial activism which is highly controversial. Some call it “adventuresome” and some perceive it as “expansionism”.[13]
Putusan lembaga peradilan yang dapat menimbulkan resiko (adventuresome) sebagaimana dinyatakan Rao di atas atau memberikan rasa pertakut (baca: teror) sebagaimana dinyatakan Sinha. Putusan yang adventuresome tersebut sesungguhnya sering terjadi dalam banyak putusan peradilan di dunia.
Dalam perkara Roe versus Wade di Mahkamah Agung Amerika, suasana teror bagi masyarakat yang memiliki nilai-nilai agama terjadi. Kasus yang meminta diperbolehkannya aborsi tersebut akhirnya melegalkan upaya pembunuhan janin bayi. Menurut kalangan agama di Amerika, putusan MA Amerika tersebut menjadi sesuatu hal yang mengerikan bagi tatanan kehidupan mereka. Hal itu terbukti ketika angka aborsi terus meningkat di Amerika. Orang tidak lagi mengugurkan bayinya dikarenakan sebuah keterpaksaan (misalnya sebagai korban pemerkosaan) tetapi lebih kepada gaya hidup pergaulan bebas. Menurut Jean Bethke Elshtain, akibat putusan tersebut telah menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan di sepanjang tahun 1973 di banyak Negara-negara bagian di Amerika.[14]
Peradilan di Indonesia bahkan memiliki banyak catatan terhadap putusan yang dapat digolongkan kepada judicial terrorism. Kasus pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont adalah salah satu yang dapat dikatakan sebagai sebuah judicial terrorism.[15] Keresahan yang ditimbulkan putusan judicial terrorism tidak harus berbentuk kerusuhan massa. Dalam hal sebuah putusan dapat menyebabkan polemik politik yang menimbulkan ketidak pastian hukum, maka putusan tersebut dapat juga disebut sebagai sebuah judicial terrorism.
Dalam perkara Pilkada Kota Depok yang mempertemukan kubu Nur Mahmudi Ismail (Partai Keadilan Sejahtera) dan kubu Badrul Kamal (Golkar dan PKB), putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang dengan tanpa bukti jelas telah menganulir kemenangan kubu Nur Mahmudi Ismail dalam Pilkada Kota Depok merupakan contoh bentuk teror dari putusan peradilan yang lainnya. Putusan tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat Kota Depok. Bagi sejumlah kalangan pemerhati peradilan, putusan tersebut sangat nyata sekali unsur berpihak kepada kelompok tertentu.
Kondisi itu terjadi dikarenakan masuknya kepentingan politik dan penguasa dalam ranah peradilan. Jed Rubenfeld dari Universitas Yale dalam buku berjudul Constitusionalism, Philosophical Foundations mengkhawatirkan masuknya kepentingan-kepentingan politik dalam interpretasi hakim. Menurutnya hakim tidak perlu memperhatikan terlalu dalam para politikus dan teori-teori politik, melainkan hakim haruslah benar-benar memahami bagaimana melakukan interpretasi hukum dengan baik.[16] Jangan sampai putusan hakim menjadi alat berdirinya tirani (judicial tyranny) kekuasaan politik. Jika itu terjadi, maka sebagai lembaga terpenting dalam menegakkan keadilan, lembaga peradilan sudah lari dari konteks tujuan keberadaannya selaku lembaga yang mengontrol seluruh institusi negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Lembaga peradilan adalah perpanjangan tangan dari tujuan pembentukan hukum, yaitu sebagai alat untuk menemukan keadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) yang hadir pasca amendemen UUD 1945 juga dibentuk untuk memenuhi hasrat para justiabelen yang mencari nilai-nilai keadilan dalam putusan peradilan. MK sebagai sebuah institusi peradilan baru, melalui hakim periode kedua telah mengukuhkan dirinya sebagai lembaga pelindung keadilan substantive (substantive justice). Sebuah semangat keadilan sesungguhnya bukan keadilan formalistik teks produk perundang-undangan. Implikasinya adalah MK telah menyatakan gaya tafsir hukumnya yang tidak tekstual, melainkan kontekstual. Sangat tidak mungkin mencari sebuah keadilan substansial dengan menggunakan pola tafsir yang terkukung formalistik peraturan perundang-undangan. Jika Hakim MK gagal mengurai makna keadilan substantif dalam setiap perkara, maka yang ditemukan adalah keadilan yang kabur. Adil menurut hakim tapi putusan tersebut tak mampu memenuhi keadilan yang ingin ditemukan oleh para pencarinya.
Tekstual dan Kontekstual
Cara hakim memaknai sebuah aturan hukum umumnya menggunakan dua pola tafsir, yaitu original intent atau non-original intent, biasa disebut juga dengan tekstual meaning atau contextual meaning. Intinya dua pola tersebut adalah pertikaian tak berkesudahan antara penganut paham positivisme hukum dan utilitarianisme (hukum progresif). Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum progresif.
Al-Gore, salah satu kandidat dalam Pemilu di Amerika tahun 2000, mengatakan dalam kampanyenya mengenai sifat “hidup” dari sebuah konstitusi. Al-Gore menyatakan bahwa Hakim Agung di Supreme Court adalah orang-orang yang mengerti bahwa Konstitusi Amerika adalah sebuah dokumen yang “hidup dan bernafas”.[17] Menurutnya, para pendiri bangsa Amerika memang bertujuan membentuk dokumen yang mampu hidup tersebut agar dapat diterapkan sesuai dengan kehendak kehidupan rakyat Amerika berdasarkan jaman masing-masing generasi.
Namun tidak semua sepakat bahwa hukum itu harus terbuka terhadap sebuah jaman. Aliran pemikiran hukum lain menyatakan bahwa hakim hanyalah corong dari undang-undang (bouche de la loi) sebagaimana dinyatakan oleh Immanuel Kant dan Montesquieu.[18] Menurut Logeman walaupun hakim memiliki kewenangan memaknai sebuah undang-undang, namun hakim harus tunduk pada kehendak para pembuat undang-undang. Hakim pada tingkatan ini tidak lebih dari “robot” pelaksana pasal produk perundang-undangan.
Dua aliran pemikiran hukum tersebut di atas memiliki landasan berpikir sendiri-sendiri. Hal demikian sudah jamak dalam pelbagai ulasan terhadap sebuah permasalahan hukum. Perbedaan pandangan aliran hukum adalah sebuah diskursus yang tak akan pernah berkesudahan. Sehingga untuk mengetahui pola pikir mana yang benar dan tepat maka diperlukan uji praktis.
Berkaitan dengan putusan MK, maka dapat dilihat secara implementasi putusan-putusan yang menggunakan pendekatan penafsiran tekstual atau kontektual yang lebih dapat menyentuh rasa keadilan di masyarakat. Penulis mencoba menggali 4 putusan yang menurut hipotesa penulis menggunakan pendekatan tafsir tekstual dan putusan yang menggunakan pendekatan kontekstual.
Tekstual approach
Putusan MK yang menggunakan pendekatan tekstual (textual approach) dalam memaknai kesesuaiannya (konstitusionalitas) dengan UUD 1945 dapat dilihat pada putusan dengan nomor perkara: 012-016-019/PUU-IV/2006 dan perkara nomor: 005/PUU-IV/2006.
Putusan No: 012-016-019/PUU-IV/2006 (Putusan Pengadilan Tipikor) berkaitan dengan keberadaan pengadilan tipikor dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). MK berpendapat bahwa muatan Pasal 53 yang mengatur tentang keberadaan peradilan tipikor tidaklah tepat dikarenakan UU tersebut berkaitan dengan KPK. Oleh karenanya Pasal tersebut tidak konstitusional sepanjang belum dibentuk dalam UU tersendiri. UU tersebut harus dibentuk DPR dalam 3 tahun semenjak putusan tersebut diputuskan.
Putusan 005/PUU-IV/2006 merupakan perkara judicial review UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Permohonannya diajukan oleh 31 Hakim Mahkamah Agung. Putusan MK memaknai kewenangan KY dalam menjaga perilaku dan kehormatan hakim hanyalah sebatas kepada hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung. MK memaknai kata hakim dalam Pasal 24 UUD 1945 tidak termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Contextual approach
Putusan yang memperlihatkan hakim mampu melihat maksud dari kata-kata dalam konstitusi secara luas adalah putusan dengan no. perkara: 102/PUU-VII/2009 dan perkara no: 22-24/PUU-VI/2008. Hakim dalam putusan ini menggunakan teori Living Constitution, melihat masalah didasari kondisi kekinian. Putusan No.102/PUU-VII/2009 (Putusan Penggunaan KTP) berkaitan dengan diperbolehkannya KTP sebagai identitas pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009.
Putusan 22-24/PUU-VI/2008 (Putusan suara terbanyak) berkaitan dengan penentuan calon anggota legislatif terpilih melalui mekanisme suara terbanyak bukan didasari kepada nomor urut. Sehingga anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih adalah orang-orang yang benar-benar memperoleh tingkat eletabilitas yang tinggi.
Memilih Tafsir Living Constitution
Dua putusan yang menggunakan pendekatan kontekstual tersebut disambut antusias oleh masyarakat. Putusan suara terbanyak dan putusan penggunaan KTP sama sekali tidak menimbulkan pertentangan oleh publik. Walaupun putusan penggunaan KTP dilakukan pada hari-hari genting menuju Pemilu Presiden, namun tidak satupun pihak dari pasang calon Presiden dan Wapres yang mempertanyakan putusan tersebut. Demikian pula dengan putusan yang berkenaan dengan suara terbanyak walaupun tidak terdapat kata suara terbanyak dalam UUD 1945, namun hakim memaknainya demikian. Mayoritas kalangan berpendapat bahwa putusan ini telah sesuai dengan semangat demokrasi sesungguhnya.
Berbeda dengan dua putusan lain yang menggunakan pendekatan tekstual. Putusan ini dipertanyakan dan dikritik sebagai putusan yang tidak memiliki semangat keadilan. Bahkan putusan yang berkaitan dengan keberadaan pengadilan tipikor sampai saat ini tidak dilaksanakan oleh DPR. Hal itu dapat membahayakan kewibawaan MK sendiri apabila putusan MK tersebut diabaikan hingga tenggat waktunya. Artinya setiap orang akan menganggap bahwa putusan MK tidak wajib dipatuhi dikarenakan tidak memiliki hukuman. Akhirnya putusan itu dapat mengakibatkan bencana konstitusional.
Menurut Tom Ginsburg, putusan-putusan peradilan yang menggunakan metode formal (tekstual) telah ditinggalkan. Bagi Ginsburg penggunaan metode formal dalam peradilan sangatlah tidak tepat. Hal itu menurut Ginsburg akan menjadi tidak ada gunanya peradilan jika menerapakan aturan formal hukum dalam putusannya. Peradilan menjadi tidak memiliki perbedaan dengan lembaga legislatif. Ginsburg selengkapnya berpendapat sebagai berikut;
Formalism is a particularly inappropriate theory for understanding how courts behave in new democracies. If courts simply apply “the law,” there should be no difference in their willingness to do so across different political regimes.[19]
Melihat kondisi yang demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara, hakim MK semestinya tidak melihat teks UUD semata melainkan “jiwa” dari teks tersebut dan menyesuaikannya dengan kehendak konstitusional generasi kekinian dari bangsa Indonesia. Kalau Hakim MK tidak melakukan itu yang ada bukanlah judicial creativity melainkan judicial terrorism. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahadjo ludah dari 9 (Sembilan) Hakim MK dapat menjadi “api” (Kompas, 5/01/09) jika tidak memperhatikan semangat keadilan sesungguhnya.
Kontrol terhadap MK
Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa menuturkan mengenai pentingnya kontrol terhadap peradilan di Afrika Selatan. Tentu saja kontrol tersebut tidak merusak tatanan peradilan sebagai lembaga yang independen. Terdapat dua pola kontrol menurut Motala dan Ramaphosa yang dapat dilakukan terhadap peradilan, yaitu kontrol eksternal dan internal.[20] Sebagai sebuah bagian dari sistem pemisahan kekuasaan yang ditata dengan konsep checks and balances system, maka lembaga politik merupakan bagian penting dalam melakukan kontrol eksternal terhadap peradilan.
Motola dan Ramaphosa berpendapat bahwa apabila Mahkamah Konstitusi membuat sebuah putusan yang tidak disukai oleh mayoritas publik, maka legislatif dapat melakukan pembenahan melalui amandemen konstitusi. Hal itu tentu saja diatur dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Motola dan Ramphosa menekankan mengenai perubahan konstitusi bahwa; the process for amending the constitution is both rigid and different from ordinary legislation.[21]
Format kedua dalam melakukan control terhadap hakim adalah melalui pergantian para hakim konstitusi. Di Afrika Selatan pergantian hakim tidak mudah dilakukan. Seorang hakim hanya dapat diganti apabila The Judicial Service Commission (JSC, sejenis Komisi Yudisial) menemukan bukti-bukti bahwa:
- hakim tersebut tidak memiliki kapasitas yang dipersyaratkan sebagai hakim;
- hakim tersebut nyata sekali tidak berkompeten di bidangnya;
- terbukti melakukan pelanggaran etika (misconduct).[22]
Namun bukti-bukti dari JSC tersebut belumlah cukup. National Assembly Afrika Selatan kemudian akan melakukan voting dengan sekurang-kurangnya 2/3 mayoritas anggota menyetujui pergantian tersebut. Walaupun dalam kondisi tertentu Presiden dapat saja mengganti seorang hakim dengan juga memperhatikan pendapat dari JSC.[23]
Dalam konteks Indonesia, MK sendiri telah memberangus pemantauan eksternal yang coba dilakukan Komisi Yudisial (KY). Padahal dalam konteks untuk menjaga agar tidak terjadi putusan yang dapat dikategorikan sebagai judicial terrorism, maka semestinya MK menguatkan fungsi-fungsi pengawasan KY. Sebuah lembaga kekuasaan yang luput dari pengawasan maka akan tercipta sebuah kekuasaan absolute. Meminjam istilah Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung menyimpang, sedangkan kekuasaan absolut sudah pasti menyimpang, maka keberadaan MK yang minus pengawasan tersebut akan menjadikan MK lepas kendali.
Terhadap hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Motala dan Ramaphosa maka diperlukan pembenahan pada tingkat konstitusi. Bab Kekuasaan Kehakiman UUD 1945 perlu dilakukan perombakan agar MK tidak menjadi lembaga yang minus pengawasan. Jika tidak dibenahi maka suatu saat ketika terdapat generasi-generasi hakim MK yang menyimpang, maka akan menjadi sulit untuk dilakukan pergantian. Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyinggung mengenai pemberhentian yang didasari laporan dari sebuah lembaga yang memantau kinerja hakim MK. Padahl di Negara-negara yang menjunjung penghormatan terhadap profesi hakim tetap melakukan pengawasan ketat terhadap hakimnya. Di Amerika saja tindakan moral kecil sekalipun (misdemeanor) dapat menjadi alasan untuk memberhentikan seorang hakim.
Untuk itu pembenahan terhadap MK perlu dilakukan agar tidak tercipta sebuah peradilan yang menghasilkan putusan-putusan yang bernuansa teror. Judicial terrorism dapat dicegah melalui pemantauan hakim, menyatuatapkan kewenangan judicial review, dan mempertahankan semangat substantive justice yang sedang dibangun oleh MK saat ini.
Daftar Pustaka
Buku :
Bryan A. Garner (Edt), Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West, a Thomson Business, USA, 2004.
D. Banerjea (edt), Judicial Activism, Vikas Publishing House, New Delhi, 2002.
Francis Fukuyama, Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Kerjasama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute, dan Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Feri Amsari, Masa Depan MK: Kesesuaian Teori dan Implementasi, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Vol.5. No.1, Juni 2008.
Leonard W. Levy (Edt), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Jakarta, 2005.
Larry Alexander (Edt), Constitutionalism, Philosophical Foundations, Cambridge University Press, United Kingdom, 2005.
Robert P. George (Edt), Great Cases in Constitutional Law, Universal Law Publishing Co.Pvt.Ltd., New Delhi, 2001.
S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001.
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Court in Asian Cases, Cambridge University Press, USA, 2003.
Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York Foundation Press, New York, 1999.
Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa, Constitutional Law, Analysis and Cases, Oxford University Press, South Africa, 2002.
Website :
http://www.antara.co.id/view/?i=1177397691&c=NAS&s=, diakses pada 2/09/09, 20:03 WIB.
http://en.wikipedia.org/wiki/Living_Constitution, diakses pada tanggal : 03/09/09, 12:57 WIB.
[1] Bryan A. Garner (Edt), Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West, a Thomson Business, USA, 2004, hlm. 862.
[2] Leonard W. Levy, Judicial Review, Sejarah, dan Demokrasi: Sebuah Pengantar., dalam: Leonard W. Levy (Edt), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Jakarta, 2005, hlm. 2.
[3] Ibid.
[4] S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002, hlm.25.
[5] Francis Fukuyama, Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Kerjasama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute, dan Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. Xvii.
[6] Istilah Laica Marzuki tersebut sesungguhnya hanya tepat disandangkan kepada konsep pembagian kekuasaan kehakiman di Indonesia dan beberapa Negara lain yang menganut konsep yang sama. Namun istilah dual jurisdiction tersebut tidak dapat diarahkan kepada konsep yang dirancang Kelsen pada system ketatanegaraan di Austria. Hal itu dikarenakan Austria sendiri memiliki 3 (tiga) cabang kekuasaan kehakiman, yaitu: (1) Supreme Judicial Court atau Oberster Gerichtshof yang menjadi puncak peradilan umum; (2) Administrative Court atau Verwaltungsgerichtshof yang memuncaki kekuasaan peradilan administratif; dan (3) Constitutional Court atau Verfassunggerichtshof yang merupakan peradilan konstitusional, biasanya tidak memiliki peradilan di bawah garis kewenangannya
[7] Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York Foundation Press, New York, 1999, hlm. 456.
[8] Feri Amsari, Masa Depan MK: Kesesuaian Teori dan Implementasi, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Vol.5. No.1, Juni 2008, hlm. 81.
[9] Opcit, Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, hlm. 457.
[10] Opcit, Feri Amsari, hlm. 82
[11] Ibid, hlm. 83.
[12] Satybrata Sinha, Judicial Activism: Its Evolution and Growth, dalam D. Banerjea (edt), Judicial Activism, Vikas Publishing House, New Delhi, 2002, hlm.14.
[13] P.P. Rao, Judicial Activism: Its Positive and Negative Aspects, dalam Ibid, hlm. 35.
[14] Jean Bethke Elshtain, Roe v. Wade: Speaking the Unspeakable., dalam: Robert P. George (Edt), Great Cases in Constitutional Law, Universal Law Publishing Co.Pvt.Ltd., New Delhi, 2001, hlm. 175.
[15] http://www.antara.co.id/view/?i=1177397691&c=NAS&s=, diakses pada 2/09/09, 20:03 WIB.
[16] Jed Rubenfeld, Legitimacy and Interpretation., dalam: Larry Alexander (Edt), Constitutionalism, Philosophical Foundations, Cambridge University Press, United Kingdom, 2005, hlm. 205.
[17] http://en.wikipedia.org/wiki/Living_Constitution, diakses pada tanggal : 03/09/09, 12:57 WIB.
[18] Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.42.
[19] Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Court in Asian Cases, Cambridge University Press, USA, 2003, hlm. 69.
[20] Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa, Constitutional Law, Analysis and Cases, Oxford University Press, South Africa, 2002, hlm. 93.
[21] Ibid., hlm. 94.
[22] Ibid, hlm.98.